Madah Bakti, sebuah kisah pelestarian Inkulturasi Katolik di Indonesia

Gambar 1.1 : Buku Madah Bakti Edisi 2000 + TPE 2020 (Sumber : PML)

Pengantar : 

Madah Bakti (produksi Pusat Musik Liturgi Yogyakarta) merupakan hasil implementasi dan perwujudan akan harapan iman umat Katolik Indonesia terhadap perkembangan Madah Liturgi di Indonesia yang mengakar sejak lama. Madah Bakti sebagai motor penggerak Inkulturasi yang tetap memegang standar Panduan Liturgi Resmi Katolik, tidak dapat terlepas dari sejarah musik liturgi yang berkembang di Indonesia. Musik Liturgi di Indonesia memiliki catatan sejarah yang panjang. Perkembangan musik liturgi terutama inkulturasi, semula hanyalah berawal dari sekadar menciptakan lagu berbahasa Latin dengan penggubahan corak musik yang menyesuaikan budaya asli suku lokal di Indonesia. 

Sejarah Inkulturasi Pada Mulanya :

Pada tahun 1926, Bp. Cajetanus Harjosoebroto mulai mengarang lagu Gereja menggunakan gaya tangga nada pelog dan dalam syairnya memakai bahasa Latin. Lagu - lagu ini pada kemudian hari akan dimasukkan dan ditranslasi ulang dalam buku Madah Bakti dan Kidung Adi (contoh lagu : Segenap Jiwaku - Madah Bakti 341). Barulah pada tahun 1947, mulai muncul sedikit pembaharuan musik liturgi yang terjadi dengan terciptanya buku Dere Serani dari wilayah Flores. Buku ini adalah bagian dari sejarah Inkulturasi mula - mula, dikarenakan pada buku ini memuat lagu liturgi berbahasa lokal dan bercorak nada juga khas lokal suku Flores dan sekitarnya. 

Mgr. Albertus Soegijapranata, S.J. selaku uskup Keuskupan Agung Semarang (menjabat per 1 Agustus 1940 hingga wafatnya pada tanggal 22 Juni 1963), mendirikan panitia musik Liturgi Keuskupan untuk menciptakan lagu Gendhing Kejawen. Tak lama setelahnya di tahun 1957, Pater Vincent Lechovic bersama umat lokal di wilayah Lalian (Nusa Tenggara Timur), menciptakan buku berjudul Tsi Taneb Uis Neno. Dalam era ini mulai lestari musik Inkulturasi di beberapa daerah namun masih belum begitu menggelora dikarenakan pada mulanya bahasa yang dipakai masih Bahasa Latin.


Gambar 1.2 : Buku Kidung Anjar Kagem Gusti (Sumber : Google Images)

Perubahan dan Semaraknya Gerakan Inkulturasi : 

Namun, segala perubahan terjadi semenjak Konsili Vatikan II (dilaksanakan pada tahun 1962 - 1965). Dalam Dokumen Sacrosanctum Concilium dijelaskan bahwa "Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan segenap jemaat, Gereja dalam liturgi pun tidak ingin mengharuskan suatu keseragaman yang kaku. Sebaliknya Gereja memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam adat kebiasaan para bangsa, yang tidak secara mutlak terikat pada takhayul atau ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan bila mungkin dipeliharanya dengan hakikat semangat liturgi yang sejati dan asli." (SC 37, untuk catatan lengkap mengenai inkulturasi bisa mengecek di Dokumen Sacrosanctum Concilium 37 - 42). Dengan semangat liturgis inilah, akhirnya Inkulturasi di Indonesia mulai bersemi dan mengakar rumput di umat Katolik Indonesia. 

Sejarah mencatat, pada tahun 1967, Seksi Komisi Liturgi MAWI (sekarang KWI) berinisiatif untuk menciptakan buku madah liturgi dengan nuansa Indonesia. Pada tahun - tahun ini (ca. 1967 - 1970), Seksi Liturgi MAWI mulai mengumpulkan beberapa Romo (sekitar tujuh romo menurut Rm. Prier) untuk membuat madah liturgi bercorak khas Nusantara. Dikarenakan perubahan ujud peraturan ini masih baru, maka implementasi dalam komposisi khas inkulturasi masih terkesan kurang terasa. Namun langkah ini diapresiasi, mengingat dikarenakan euforia Pasca-Konsili Vatikan II terutama dalam hal Inkulturasi Liturgi terasa semarak di Indonesia, sehingga tak sedikit terjadi kesalahan yang apabila dibiarkan akan menjadi fatal. Kesalahan ini misalnya dengan mengganti lagu Profan non-Liturgis bahkan bukan tergolong lagu Rohani, menjadi lagu Proprium bahkan bagian dari Ordinarium (sebagai contoh : Kasus perubahan lirik lagu Bandung Selatan menjadi lagu Bapa Kami yang menjadi problem yang terkenal saat itu, karena selain lagu tidak pas untuk Ibadah Liturgi Ekaristi, juga tanpa seizin pengarang lagu resmi menggubah lagu menjadi lagu proprium). 

Akhirnya, langkah pembuatan lagu - lagu Katolik bernuansa Indonesia awal - awal ini dibukukan dalam Buku Proprium (terdapat Edisi I (Lagu Adven dan Natal), II (Lagu Prapaskah dan Paskah), dan III (Lagu Tematis lainnya). Produksi Kanisius). Tahun 1968, seorang komponis bernama Paul Widyawan (penggerak Pusat Musik Liturgi bersama Rm. Prier di kemudian hari) membuat suatu pentas oratorium bernuansa Natal berjudul "Gegap Gempita di Alam". Gubahan ini semula terinspirasi dari Weihnachtsoratorio kreasi Johann Sebastian Bach. Dengan kemampuan bermusiknya, Pak Paul pada akhirnya berhasil mementaskan oratorio ini di Gereja Kotabaru Yogyakarta. Suatu gerakan perubahan, yang menginspirasi perkembangan musik liturgi kedepannya dikarenakan banyak yang mengapresiasi langkah ini. Di kemudian hari, oratorio ini direkam dalam media kaset tape dengan judul sama, sebagai pendamping buku Gegap Gempita di Alam. Salah satu lagu yang terkenal dan pada akhirnya masuk ke dalam buku Madah Bakti ialah lagu Natal berjudul "Gegap Gempita di Alam" dari Madah Bakti No. 351.


Gambar 1.3 : Bp. Martin Runi Marrun (Sumber Gambar : pojokbebas.com)

Setahun setelahnya, seorang mantan frater dari Seminari Tinggi Ledalero yakni Martin Runi Marrun mendapatkan penugasan dari Pater Van der Heijden untuk menyiapkan Lagu Misa Pancawindu. Pada selang waktu ini, Bp. Martin Runi berhasil menciptakan beberapa lagu yang kemudian hari akan dimasukkan ke dalam buku Madah Bakti pula. Sebagai contoh, lagu Hai Makhluk Semua Pujilah Allah Kita.

Selanjutnya berdasarkan gagasan dan hasil perumusan ide dari Rm. Karl-Edmund Prier dan Bp. Paul Widyawan, terbentuklah suatu instansi yang berfokus pada pengembangan musik liturgi di Indonesia termasuk di dalamnya ialah musik liturgi eksperimen dan kreasi baru (sekedar catatan bahwasanya istilah inkulturasi baru mulai dikenal di Indonesia per tahun 1973).

Awal Lahirnya Madah Bakti :

Gagasan semula yang bertujuan untuk mendirikan instansi yang berfokus pada pengembangan liturgi di Indonesia, berhasil terwujud pada tahun 1971. Secara resmi melalui acara dan pentas oleh Paduan Suara Vocalista Sonora, diresmikanlah gedung pertama PML sekaligus instansi PML (semula ialah Seksi Musik Liturgi Kolese Santo Ignatius (KOLSANI)) oleh Rm. Ferdinand Heselaars S.J. dan dihadiri oleh beberapa tamu penting seperti Mgr. Willem Schoemaker, M.S.C., Bp. Catejanus Hardjosoebroto, dan masih banyak lainnya.

Singkat cerita, melalui berbagai perjalanan kisah tibalah Kongres Musik Liturgi Kedua tahun 1975 di Yogyakarta. Dalam Kongres Musik Liturgi tahun 1975, diputuskanlah beberapa hal penting, yakni :
  1. Menerbitkan media sarana komunikasi untuk Musik Liturgi yang kompeten. Media ini berjudul Warta Musik, berformat majalah dan hingga saat ini masih terbit (baik dalam mode digital ataupun cetak).
  2. Menciptakan Buku Doa dan Nyanyian Liturgi Indonesia.
  3. Membina para utusan dari daerah secara perseorangan untuk dijadikan penggerak musik Gereja zaman sekarang. Dalam perjalanannya, format pelatihan menjadi Kursus Periodik yang diadakan setiap tahun yakni Kursus Musik Gereja (Kursus Organ Gereja dan Kursus Organ Gereja Jarak Jauh).
Keputusan kedua merupakan keputusan yang besar untuk PML dan Seksi Musik Komisi Liturgi MAWI. Namun, hal ini juga berdasar pada kredibilitas PML akan kemampuan instansi ini dalam menciptakan nyanyian ibadat baru yang sesuai corak khas Nusantara. Dalam periode 1971 - 1973 misalnya, PML berhasil menciptakan buku nyanyian baru bernama Gema Hidup. Dalam buku ini mulai bermunculan nyanyian ibadat yang lebih khas Nusantara, disamping tetap tersedia pula nyanyian ibadat dengan gaya musik serapan dari Barat (semisal dari buku Umat Allah Bernyanyi, Yubilate, dan Syukur Kepada Bapa) ataupun musik yang memang berasal dari Eropa dengan terjemahan Indonesia.

Selanjutnya, pada persiapan untuk Kongres Kedua Musik Liturgi pula, PML secara aktif telah melakukan komposisi lagu inkulturasi. Terlebih dalam hal ini, Bp. Paul dan Rm. Prier bersinergi dalam menciptakan pelbagai lagu yang hingga sekarang masih dinyanyikan. Beberapa lagu berikut ialah :
  1. Bawalah Persembahan (MB 228 - Gaya Keroncong)
  2. Dayung Di Arus (MB 221 - Gaya Minang / Melayu)
  3. Di Jenjang Maaf (MB 367 - Gaya Betawi), dan masih banyak lain.

Lagu - lagu berikut terkumpul dalam buku nyanyian berjudul Indonesia Tercinta. Tak lupa pula pada tahun 1974, PML berhasil mengumpulkan beberapa lagu inkulturasi dengan bantuan musikus Gereja Katolik lokal (semisal : Misa Manado oleh M. Rarun dengan karakteristik musik khas Kolintang yang terkenal itu). Beberapa hal ini di kemudian hari menjadi tolok ukur KomLit MAWI dalam penunjukkan PML dalam membuat Buku Doa dan Nyanyian Liturgi Indonesia.

Pembuatan Buku Doa dan Nyanyian Liturgi semula tidaklah mudah. Saat itu masih belum terdapat skema susunan yang tepat untuk pembuatan buku tersebut. Beruntungnya, di Jerman rilis sebuah buku baru bernama "Gotteslob". Acuan dari Gotteslob, kemudian menjadi model utama pembuatan buku ini dengan penyesuaian dengan budaya dan situasi di Indonesia. Adapun hambatan lain ialah sekalipun sudah terkumpul secara masif nyanyian misa, kebanyakan dari nyanyian ialah Ordinarium (Misa Kita, Misa Syukur, Misa Harjowardoyo, Misa Manado, dll.). Namun, untuk lagu Proprium terlebih untuk Proprium Tematis masih dirasa kurang.

Perihal ini ternyata bisa diatasi. Dengan bantuan Bp. Liberty Manik (komponis Satu Nusa Satu Bangsa) yang pada waktu itu (tahun 1976), telah pulang studi komposisi di Jerman. Bp. Manik memprakarsai konsep baru yakni Lokakarya Komposisi. Konsep ini bertujuan agar para peserta yang hadir di-briefing secukupnya perihal teori musik dan syair. Selanjutnya dengan dibantu narasumber kompeten, para peserta diharapkan mengarang dan mengonsep lagu yang layak diperdengarkan dan dinyanyikan saat liturgi.

PML dengan dibantu oleh Bp. Manik (narasumber bidang komposisi) dan Bp. Simatupang (narasumber bidang syair) akhirnya melaksanakan Loko (Lokakarya Komposisi) di Kaliurang dan Syantikara pada periode tahun 1977 hingga 1979. Beberapa hasil Lokakarya ini juga dimasukkan ke dalam list nyanyian Madah Bakti di kemudian hari. Juga masih dalam periode yang sama, PML diundang agar melaksanakan Lokakarya Komposisi di Detusoko. Lokakarya ini berhasil membuahkan hasil sebanyak 32 lagu baru, dengan 16 lagu di antaranya masuk dalam Madah Bakti (misalnya : Trimalah Ya Bapa (MB 233) dan Karya Tritunggal / Hai Umat Pujilah Bapa (MB 484)).

Akhirnya, Kongres Musik Liturgi Ketiga di Jakarta diadakan pada tahun 1980 (tepatnya di Klender). Buku Doa dan Nyanyian Liturgi Indonesia (nama proyek ini) diresmikan oleh MAWI dan diberi nama sebagai MADAH BAKTI. Mgr. Anicetus Bongsu Antonius Sinaga, O.F.M.Cap. menawarkan dan memperkenalkan buku ini sebagai "Buku Tawaran Alternatif untuk Gereja Indonesia dan bukan Buku Wajib". Penawaran ini mungkin harap dimaklumi karena citra buku ini dianggap Yogya-sentris, sekalipun pada akhirnya hal ini terbantahkan oleh terdapatnya sejumlah lagu non-Kejawen (seperti yang di"citrakan") bahkan inkulturasi Flores dan dari banyak wilayah lainnya, lagu Barat dan Gregorian, dll. Hadir pula beberapa komponis lagu yang langsung mendukung buku baru ini. Bahkan menurut Dr. Liberty Manik sekalipun, Madah Bakti merupakan suatu tonggak sejarah Musik Indonesia yang tiada dapat lagi ditiadakan. 

Dualisme Pandangan dan Terbitnya Puji Syukur (dari kisah Rm. Prier di buku Hidup Untuk Musik) :


Gambar 1.4 : Buku Puji Syukur (Sumber : Wikipedia)

Hal ini merupakan hal menarik, karena sebelum tahun 1987, MAWI masih mendukung dan jarang melontarkan kritikan yang signifikan kepada PML. Barulah pada periode 1985 - 1987, bermunculan sedikit demi sedikit kritikan (termasuk dari KomLit MAWI). Kritikan ini semisal, terdapat kata - kata dalam syair nyanyian yang mengandung banyak e pepet dengan tekanan (e pepet disini misalnya : telah). Juga ada saran perubahan isi dan revisi dalam buku terutama pengurangan lagu Inkulturasi dan penambahan lagu Gregorian. Sedangkan di sisi lain PML berkeberatan dikarenakan dengan alasan :

  • Jangan merubah syair dari lagu umat yang sudah mengakar dan dihafalkan umat. Hal ini akan menimbulkan kebingungan umat di kemudian hari. Alangkah lebih baik, menghapus lagu yang dianggap kurang layak dinyanyikan dan digantikan dengan lagu baru lain.
  • Lagu Inkulturasi lahir dari penghayatan iman orang yang cinta akan budaya sehingga hal ini merupakan ungkapan iman secara otentik, sehingga banyak umat mudah mempelajari nyanyian dan menghayati dalam kehidupan sehari - harinya.
  • Benar bahwa Nyanyian Gregorian merupakan "Nyanyian Khas Liturgi Romawi" (SC 116). Namun, sayangnya Gregorian bukanlah lagu umat terkecuali untuk ordinarium. Dan apakah lagu Gregorian lebih merakyat dan meresap sebelum Konsili Vatikan II? Sedang di Indonesia dan wilayah lainnya, madah Gregorian dimadahkan oleh kelompok schola cantorum.
Dikarenakan kritik terus dilancarkan kepada Rm. Prier (selaku Ketua Seksi Musik KomLit saat itu), pada akhirnya beliau mundur dari KomLit dan proyek pembaharuan itu.

Sayangnya, dibatalkanlah konsep pembaharuan Madah Bakti ini. Konsep ini digantikan dengan menciptakan buku baru yang menurut saya pribadi (penulis blog) terkesan memaksakan dan kurang mengadaptasi tradisi Gereja Katolik yang universal dan menerima budaya selama tidak menjadi sesat dan menyesatkan, juga sayangnya kurang memperdulikan akan harapan umat terhadap perkembangan Liturgi Gereja. Buku ini drilis pada tahun 1993, dan dikemudian hari menjadi PUJI SYUKUR. Selain itu pada tahun yang sama, Pusat Musik Liturgi merilis buku suplemen / tambahan untuk Madah Bakti yang diberi judul Madah Bakti Suplemen. Kasus ini pada kemudian hari menjadi membingungkan umat, dan menimbulkan pertanyaan mana seharusnya acuan yang benar? Puji Syukur atau Madah Bakti?

Banyak lagu - lagu dari Puji Syukur merupakan serapan dari buku Madah Bakti. Namun menariknya ialah, dalam penulisan sumber lagu - lagu itu tidak disebutkan nama PML (selaku instansi yang berjerih payah melaksanakan Lokakarya Komposisi), melainkan hanyalah Lokakarya Komposisi dari .... (misalnya pada lagu Dengan Gembira yang hanya tertulis Loko Keuskupan Agung Medan, tanpa mencantumkan nama PML dan lokasi Loko yakni di Pematang Siantar). Juga beberapa lagu karya dari Rm. Prier disadur ke Puji Syukur, sehingga menimbulkan salah paham di umat bahwa Rm. Prier dan PML ikut serta dalam pembuatan Puji Syukur. Hingga hari ini kritik terhadap Puji Syukur, masih sering dialamatkan kepada PML (yang bahkan tidak terlibat sama sekali).

Menjajaki Proses Baru dan Desas - Desus Pemulihan Relasi dengan KWI:

Dengan dijadikannya Puji Syukur sebagai acuan resmi / Editio Typica untuk pembuatan Buku Doa dan Nyanyian serupa, juga diperkuat dengan argumen pembuka yakni "Dengan demikian fungsi Buku Doa dan Nyanyian Umum (Madah Bakti, red) yang pernah disusun PWI-Liturgi (Seksi Musik) sekarang digantikan oleh Puji Syukur" menimbulkan kesan bahwa Madah Bakti telah tidak dipakai lagi / dimatikan secara paksa.


Gambar 1.5 : Logo Pusat Musik Liturgi Yogyakarta (Sumber : Facebook PML Yogyakarta)

Namun PML melalui saran Rm. Hardawiryana S.J., akhirnya mengembangkan Madah Bakti. Sehingga beberapa lagu hasil Lokakarya Komposisi periode tahun 1981 - 1993, dikumpulkan menjadi satu dan dibuatlah Madah Bakti Suplemen. Setelah itu, pada tahun 2000 terjadi pembaharuan isi lagu Madah Bakti dengan menambahkan beberapa lagu dari Madah Bakti Suplemen, juga tambahan Lokakarya susulan pasca 1993 sampai 2000, namun juga menghapus beberapa lagu yang menurut survei kepada umat kurang begitu diminati. Sekadar informasi, pada tahun 2025 nanti PML akan merilis Madah Bakti baru. Juga dikabarkan hubungan PML dan  Komisi Liturgi KWI kini mulai membaik. 

Sebagai penulis yang juga mengharapkan reintegrasi kerjasama PML dan Komisi Liturgi KWI, saya mengharapkan agar kerjasama bisa terjalin dan syukur - syukur bila ada suatu jalinan khusus serta gagasan menyatukan Madah Bakti dan Puji Syukur menjadi suatu kompilasi dalam rupa buku bertajuk Madah Liturgi Gereja. (yang menyatukan unsur inkulturasi, barat, dan Gregorian menjadi satu kesatuan yang adil dan bhinneka). Kita lihat saja perkembangannya.

Beberapa Lagu Favorit Umat :

Sepanjang perjalanan Madah Bakti hingga sekarang, ternyata umat Katolik Indonesia banyak juga yang masih menyanyikan serta hafal akan lagu dari Madah Bakti. Berdasarkan versi Madah Bakti 2000 TPE 2020, berikut menurut saya beberapa lagu yang masih disenangi umat :
  1. Bawalah Persembahan (MB no. 228 - Gaya Keroncong, Cipt. : Paul Widyawan)
  2. Kita Menghadap Altar Tuhan / Dengan Gembira (MB no. 601 - Gaya Nias, Cipt. : Hasil Loko PML di Pematang Siantar 1986)
  3. Datanglah, Ya Tuhan (MB no. 611 - Gaya Timor Bunaq, Cipt. : Hasil Loko PML di Atambua 1989)
  4. Ya Namamu Maria (MB no. 547 - Gaya Barat, Cipt. : Syukur Kepada Bapa No. 327)
  5. Di Sanggar Maha Suci (MB no. 164 - Gaya Keroncong, Cipt. : Paul Widyawan)
  6. Kelana (MB no. 160 - Gaya Makassar, Cipt. : Paul Widyawan)
  7. Dayung Di Arus (MB no. 221 - Gaya Melayu / Minang, Cipt. : Paul Widyawan)
  8. Uluran Tangan Kami (MB no. 246 - Gaya Tionghoa, Cipt. : Finna Su Phing)
  9. Aku Mengasihi Tuhan (MB no. 290 - Gaya Jawa, Cipt. : Hasil Loko PML di Kaliurang 1978 (Yoakim Agus Tridiatno))
  10. Alam Raya Karya Bapa (MB no. 352 - Gaya Barat, Cipt. : Georg Friedrich Handel + Isaac Watts)
  11. Segenap Jiwaku (MB no. 341 - Gaya Jawa, Cipt. : Catejanus Hardjosoebroto)
  12. Wartakan Dengan Lantang (MB no. 339 - Gaya Spiritual African American, Terjemahan : B. Suparyanto)
  13. Yerusalem Kota Surgawi (MB no. 834 - Gaya Batak Toba, Cipt. : Hasil Loko PML di Pematang Siantar 1986)
  14. Segarkanlah Kami / Kepada-Mu Tuhanku (MB no. 608 - Gaya Dayak Kenyah, Cipt. : Hasil Loko PML di Tering, Kalimantan Timur 1985)
  15. Hidup Kita Dalam Dunia / Cintailah Sesamamu (MB no. 775 - Gaya Nias, Cipt. : Hasil Loko PML di Sirombu 1987)
  16. Bagai Bumi Tersiram Hujan (MB no. 761 - Gaya Dayak Kanayatn, Cipt. : Hasil Loko PML di Pematang Siantar 1986)
  17. Pujian Kepada-Mu Tuhan / Tinggallah Dalam Hati (MB no. 701 - Gaya Batak Toba, Cipt. : Hasil Loko PML di Pematang Siantar 1986)
  18. Syukur Kepada-Mu Tuhan (MB no. 427 - Gaya Barat (Jerman), Cipt. : Chrysanth Joseph Bierbaum + A. Budyapranata)
  19. Limpahkan Kasih-Mu (MB no. 478 - Gaya Barat, Cipt. : Hasil Loko PML di Kaliurang 1978 (Sr. Elisa))
  20. Yerusalem Lihatlah Raja-Mu (MB no. 395 - Gaya Barat, Cipt. : Michael Maybrick + Paul Widyawan)
  21. Hai Makhluk Semua (MB no. 435 - Gaya Flores, Cipt. : Martin Runi Marrun)
  22. Hanya Pada-Mu Tuhan (MB no. 317 - Gaya Sunda, Cipt. : A. Sudarsono, dengan izin dari Lembaga Literatur Baptis Bandung), dan masih banyak lainnya.

Juga terdapat banyak sekali lagu - lagu favorit umat dari versi Madah Bakti yang lain yakni Madah Bakti Regio Kalimantan, Madah Bakti versi 1980 (lagu yang sudah dihapus pada pembaharuan versi maksudnya), dan Madah Bakti Suplemen (yang tidak tersedia di versi pembaharuan yakni Edisi 2000). Lagu - lagu ini tidak dapat disebutkan satu persatu, karena bila disebutkan membutuhkan waktu survei tersendiri.

Beberapa Video Lagu Madah Bakti :

Dengan perkembangan media sosial, kini nyanyian dari Buku Madah Bakti dapat dinikmati via Youtube dan beberapa pula terdapat di Soundcloud resmi PML. Adapun yang akan penulis bagikan hanya beberapa, dan rekaman dari lagu yang dishare juga dinyanyikan secara resmi oleh PML melalui Paduan Suara Vocalista Sonora. Harapan penulis ialah, semoga dari pihak PML Yogyakarta berkenan memperluas akses streaming nyanyian Madah Bakti dan karya lain dari PML. Mungkin bisa diupload ke Spotify, YouTube Music, atau Apple Music. Sekadar informasi, PML tidak hanya merekam nyanyian Inkulturasi Katolik saja. PML (Vocalista Sonora) juga merekam lagu - lagu daerah dari berbagai wilayah di Indonesia.

Adapun beberapa lagu yang masih diminati dari Madah Bakti contohnya ialah :

  1. Dayung di Arus (dengan Gaya Minang / Melayu) :

  2. Bawalah Persembahan (dengan Gaya Keroncong) : 

  3. Kelana (dengan Gaya Makassar) : 

  4. Tinggallah Dalam Hati (dengan Gaya Batak Toba) : 

  5. Datanglah, Ya Tuhan (dengan Gaya Timor Bunaq) : 

  6. Di Sanggar Maha Suci (dengan Gaya Keroncong) : 

  7. Yerusalem Lihatlah Raja-Mu (dengan Gaya Barat, rekaman 1970-an) : 
  8. Punai Memuji Tuhan (dengan Gaya Khas Dayak) : 

  9. Mari Menghadap Tuhan (dengan Gaya Barat) : 

  10. Kidung Sabda-Mu (dengan Gaya Minahasa) : 

  11. Kenanga Utusan (dengan Gaya Bali) : 

  12. Nikmat Suarga (dengan Gaya Dayak (tertulis Kalimantan saja)) : 

  13. Dengan Gembira / Kita Menghadap Altar Tuhan (dengan gaya Khas Nias) : 

  14. Hidup Kita Dalam Dunia / Cintailah Sesamamu (dengan gaya khas Nias juga) : 

Penutup :

Tulisan ini mungkin masih dirasa kurang sempurna, dan mohon berkenan mengoreksi apabila terdapat kesalahan dalam informasi. Semoga informasi ini bisa menjadi pencerah kepada kita akan perkembangan liturgi di Indonesia. Jangan mudah tersesat dalam pengamalan dan implementasi tradisi Gereja (terlebih liturgi) dikarenakan perkembangan yang semakin masif namun tidak terfiltrasi. Mari kembangkan liturgi dan tradisi Gereja Katolik kita dengan baik, tanpa menghilangkan tradisi Gereja Katolik dan tidak menghilangkan tradisi asli Nusantara kita. Karena kita adalah Umat Katolik Indonesia. Kita adalah 100% Katolik dan 100% Indonesia, seperti kata Mgr. Albertus Soegijapranata, S.J.

Biodata Buku Madah Bakti Versi Terbaru :

  • Judul : Madah Bakti : Buku Doa dan Nyanyian (dengan Revisi TPE 2020)
  • Pengarang : Pusat Musik Liturgi Yogyakarta
  • Negara : Indonesia
  • Bahasa : Indonesia
  • Tipe Buku : Buku Doa dan Penunjang Nyanyian Liturgi Umat Indonesia
  • Penerbit : Pusat Musik Liturgi Yogyakarta
  • Tanggal Terbit (Cetakan Pertama) : 1980
  • Tanggal Cetakan Revisi : 2022 (dengan TPE 2020)
  • Jumlah Halaman : 936 halaman
  • Kode Terbitan : PML 144-BS
  • ISBN : 978-979-8133-88-6
  • Link Resmi Penerbit : https://pml-yk.org/
  • Imprimatur : Mgr. Ignatius Suharyo, 26 Mei 2000

Daftar Pustaka :

  • Tim Liturgi PML Yogyakarta. 2022. Madah Bakti Edisi 2000 + TPE 2020. Yogyakarta: PML Yogyakarta
  • Prier, Karl-Edmund. 2023. Hidup Untuk Musik : Sebuah Autobiografi dalam 50 Cerita. Yogyakarta: PML Yogyakarta
  • Prier, Karl-Edmund & Widyawan, Paul. 2011. Roda Musik Liturgi : Panduan untuk para petugas Musik Liturgi. Yogyakarta: PML Yogyakarta
  • Prier, Karl-Edmund. 2008. Perjalanan Musik Gereja Katolik Indonesia Tahun 1957 - 2007. Yogyakarta: PML Yogyakarta

Komentar